Singkirkan Najis dari Kehidupanmu

Dimana-mana anda akan menemukan najis; pada pakaian, kemaluan, dubur, bejana, air, minyak, makanan, dan lainnya. Pokoknya, dimana-mana ada najis. Oleh karena itu, "singkirkanlah najis dari kehidupanmu". Namun menyingkirkan najis jangan asal-asalan, tapi harus didasari dengan ilmu dari Al-Qur’an, dan Sunnah sebagaimana yang akan kami jelaskan berikut: 



• Membersihkan Darah Haidh 
Haidh adalah fitrah yang harus dialami oleh para wanita. Haidh adalah najis yang harus dibersihkan dari diri seorang wanita, terlebih lagi jika ia ingin sholat, atau berhubungan dengan suami. Cara membersihkannya gampang. Nah, dengarkan saja A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata, 
كَانَتْ إِحْدَانَا تَحِيْضُ ثُمَّ تَقْتَرِصُ الدَّمَ مِنْ ثَوْبِهَا عِنْدَ طُهْرِهَا فَتَغْسِلُهُ وَتَنْضَحُ عَلَى سَائِرِهِ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ 
"Dulu seorang (wanita) diantara kami haidh, lalu ia mengerik darah (dengan kuku) dari pakaiannya ketika ia telah suci, lalu mencucinya, dan menyirami seluruhnya. Kemudian ia sholat dengan (memakai) pakaian itu". [HR. Al-Bukhoriy (302), dan Ibnu Majah (630)] 

Demi menambah kebersihan pakaian yang terkena haidh, dianjurkan ketika mencuci pakaian agar menggunakan air, dicampur dengan daun bidara, atau semisalnya, seperti sabun, dan Molto. 
Ummu Qois bintu Mihshon-radhiyallahu ‘anha- berkata, "Aku bertanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang darah haidh yang ada pada pakaian. Beliau bersabda,
حُكِّيْهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيْهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ 
"Gosoklah (keriklah) dengan tulang, dan cucilah dengan air, dan daun bidara". [HR. Abu Dawud (363), An-Nasa'iy (292), dan Ibnu Majah (628). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (300)] 

• Membereskan Kencing Bayi 
Bayi adalah buah hati dan kesenangan setiap orang, terutama orang tuanya. Namun di lain sisi, bayi terkadang bikin repot ketika ia kencing. Sementara kita gendong, eh malah ia mengencingi kita. 
Namun seorang muslim tak perlu gusar, dan pusing. Karena masalah seperti ini sudah diberikan solusinya oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dengan semudah mungkin. Simak penuturan Sahabat Abus Samhi-radhiyallahu ‘anhu- saat ia berkata, "Aku adalah pelayan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Maka didatangkanlah Al-Hasan, dan Al-Husain, lalu ia pun kencing pada dada beliau. Mereka ingin mencucinya.

Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, 
رُشَّهُ فَإِنَّهُ يُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ 
"Siramlah! Karena kencing bayi wanita dicuci, dan kencing bayi laki-laki di sirami". [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (376), An-Nasa'iy dalam As-Sunan (304), dan Ibnu Majah dalam As-Sunan (526). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (502)] 
Jadi, kencing bayi laki-laki, cukup disirami, dan kencing bayi wanita, dicuci baik-baik. Perbedaan seperti ini dibangun berdasarkan hikmah, dan ilmu yang ada di sisi Allah. Bayi disini, maksudnya yang belum makan, selain susu. Adapun jika sudah makan selain susu juga, maka kencingnya sama dengan orang dewasa, harus dicuci. 

• Menyucikan Pakaian dan Badan dari Madziy 
Sebagian orang terkadang sering tertimpa madzi pada pakaian, dan badannya. Seorang yang terkena najis, maka ia cuci madzi yang ada pada pakaian, atau badannya, dan berwudhu’. Madzi adalah cairan yang keluar dari manusia ketika syahwatnya memuncak. Lebih jelasnya, An-Nawawi berkata,“Cairan yang halus lagi kental, keluar ketika bersyahwat”.[Lihat Al-Minhaj (3/204)] 
Sedangkan wadi adalah cairan najis yang keluar dari kemaluan seseorang ketika ia buang air, karena mengalami sakit, atau lelah, tanpa disertai oleh syahwat. Adapun keluarnya madzi ini menyebabkan seseorang harus bersuci, karena madzi adalah najis seperti halnya dengan kencing yang keluar dari kemaluan manusia. 

Sahl bin Hunaif -radhiyallahu ‘anhu- berkata, 
"Aku mendapatkan kesusahan karena madzi. Karenanya, aku sering mandi. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Maka beliau bersabda,"Cukuplah bagimu berwudhu’".Aku berkata lagi, "Wahai Rasulullah, Bagaimana jika madzi menyentuh pakaianku?". Beliau bersabda, 
إِنَّمَا يَكْفِيْكَ كَفٌّ مِنْ مَاءٍ تَنْضَحُ بِهِ مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ أَصَابَ 
"Cukuplah bagimu seciduk air yang engkau siramkan pada pakaianmu dimana engkau pandang madzi itu mengenainya". [HR. Abu Dawud (215), At-Tirmidziy (115), dan Ibnu Majah (506). Di-hasan-kan Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (210)] 

Ali bin Abi Tahlib-radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, 
كُنْتُ رَجُلًا مَذّاَءً فَكُنْتُ أَسْتَحْيِيْ أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ . فَأَمَرْتُ المِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Dulu aku adalah seorang laki-laki yang banyak madzinya, aku malu bertanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- karena keberadaan putrinya. Kemudian aku memerintahkan Al-Miqdadbin Al-Aswad (untuk bertanya), maka ia pun bertanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Dia mencuci kemaluannya dan berwudhu”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (132), Muslim dalam Shahih-nya (693), dan An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (157)] 
Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Mani, wadiy, dan madzi; adapun mani, maka ia adalah sesuatu yang (mangharuskan) mandi karenanya. Adapun wadiy dan madzi, maka ia berkata, “Cucilah kemaluanmu, dan wudhu seperti wudhu untuk shalat”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (984), Ath-Thohawiy dalam Syarhul Ma'ani (250) dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (no.771)] 
An-Nawawiy-rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (2/204), “Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah: (di antaranya) madzi tidak mangharuskan mandi, dan (hanya) mengharuskan wudhu, dan bahwa madzi adalah najis, oleh karena ini Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mewajibkan mencuci kemaluan”. 
Adapun madzi yang mengenai pakaian, maka cukup dicuci pada bagian yang terkena oleh madzi, wallahu a’lam bish showaab… 

• Pembersih Ujung Pakaian Wanita Sholehah 
Pakaian wanita sholehah adalah pakaian yang yang menutupi seluruh tubuh wanita mulai dari kepala sampai menyentuh tanah. Inilah jilbab syar’iy yang dikenal dan dipakai di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- oleh para wanita sholehah. Demikian pula dipakai oleh wanita-wanita sholehah generasi setelahnya sampai zaman kita ini. Tak heran jika seorang sahabat wanita pernah bertanya cara mengatasi ujung pakaian yang terseret, dan menyentuh tanah yang bernajis. Silakan toleh Ummu Salamah, istri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata, 
"Sesungguhnya aku adalah wanita yang panjang ujung pakaiannya, terkadang berjalan di tempat yang kotor (bernajis)". Dia (Ummu Salamah) berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, 
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ 

"Ujung pakaianmu itu akan dibersihkan oleh tanah yang setelahnya". [HR. Abu Dawud (383), At-Tirmidziy (143),dan Ibnu Majah (531).Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Jilbab Al-Mar'ah (hal.81)] 
Tanah bernajis yang mengenai pakaian, itu akan dibersihkan oleh tanah suci yang setelahnya. Jadi, wanita sholehah cukup membiarkan pakaiannya terseret di tanah suci, maka otomatis ujung pakaiannya akan bersih dari najis, dan boleh dipakai sholat. Jadi, tak perlu angkat pakaian sehingga kaki yang merupakan aurat bagi wanita akan nampak !! 

• Sandal Bernajis Cukup Gesekkan ke Tanah 
Sandal yang kita pakai kemana-mana juga tak perlu merisaukan kita karena terkena najis. Jika seorang ingin sholat sambil bersandal, maka hendaknya ia sebelum sholat membalik, dan memperhatikan sandalnya. Jika ada najisnya, maka ia gesekkan sandalnya ke tanah yang suci, lalu ia sholat dengan sandal itu. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, 
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِيْ نَعْلَيْهِ قَذِرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا
"Jika seorang diantara kalian datang ke masjid, maka hendaknya ia memperhatikan (sandalnya). Jika ia melihat padanya ada najis, maka hendaknya ia gesekkan sandalnya, dan sholat dengan memakainya". [Abu Dawud (650). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Tamamul Minnah (hal.55)] 

• Mengatasi Jilatan Anjing pada Bejana 
Anjing adalah binatang yang biasa berkeliaran di sekitar kita. Di sebagian tempat, anjing berkeliaran bebas sehingga terkadang ia menjilat pakaian, badan, atau bejana. Bejana secara khusus, jika terjilat anjing, maka dicuci 7 kali. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam sabdanya,
طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana salah seorang di antara kalian yang dijilat anjing, dicuci sebanyak tujuh kali, awalnya dengan tanah”. [HR. Muslim dalam Shahih-nya (279)] 
Adapun selain bejana yang biasa kita pakai makan dan minum, seperti badan, pakaian, sepatu, maka jika benda-benda ini terjilat anjing, maka tak perlu dicuci tujuh kali, tapi cukup dicuci dengan air, tanpa harus disertai dengan tanah. 

• Menyucikan Kulit Bangkai 
Kulit adalah benda berharga yang tak boleh disia-siakan, tapi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Jangan seperti sebagian orang yang membuangnya tanpa nilai. Disinilah keindahan syari’at kita ketika menuntun kita untuk hidup ekonomis, sehingga jika seorang muslim menemukan hewan yang halal dimakan dalam kondisi mati tergeletak (bangkai), maka dia dianjurkan menyamak kulit hewan itu, bukan dibuang. Bagaimana lagi hewan yang halal, dan sudah disembelih (bukan bangkai), maka tentunya tidak layak kulitnya dibuang. 

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, 
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ 
"Jika kulit hewan (berupa bangkai) disamak, maka sungguh ia telah suci". [HR.Muslim (366)] 
Seorang ulama Syafi’iyyah, Syaikh Muhammad Al-Hisniy Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata dalam kitabnya Kifayah Al-Akhyar (1/26), “Kemudian jika kulit sudah disamak, maka kulit bagian luar suci secara pasti; demikian pula bagian dalamnya menurut pendapat yang masyhur belakangan. Maka boleh sholat di atasnya, dan sholat dengan memakai kulit itu. Boleh juga digunakan dalam hal-hal yang kering, dan basah; boleh menjualnya, menghibahkannya, dan mewasiatkannya". 
Kulit bangkai bisa tersucikan oleh samak, jika kulit itu berasal dari hewan yang pada asalnya bisa dimakan, seperti sapi, kambing, biri-biri, kijang, dan lainnya. Adapun yang haram dimakan, seperti babi, kucing, anjing, dan lainnya, maka kulitnya tak tersucikan dengan samak. 

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin-rahimahullah- berkata, "Pendapat yang terkuat adalah setiap hewan yang mati, sedang ia pada asalnya bisa dimakan, maka kulitnya jadi suci dengan samak. Ini adalah salah satu dari dua pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-".[Lihat Asy-Syarh Al-Mumti' Ala Zaad Al-Mustaqni' (1/75), cet. Mu'assasah Aasam]

• Problema Tikus Mati dalam Minyak, dan Solusinya 
Tikus termasuk hewan yang biasa melakukan kerusakan, baik di kota maupun di desa. Dia adalah hewan yang membawa kotoran, dan penyakit bagi manusia. Olehnya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kita untuk membunuh tikus. Di antara kerusakan yang ditimbulkannya, ia masuk ke dapur sehingga terkadang ia jatuh ke minyak, lalu mati di dalamnya. Ketika mati, jelas ia adalah bangkai yang najis. Solusinya? Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah ditanya tentang tikus yang jatuh pada minyak, maka beliau menjawab, 
أَلْقُوْهَا وَمَا حَوْلَهَا وَكُلُوْهُ
Buanglah tikus itu, dan sesuatu yang ada di sekitarnya, serta konsumsilah". [HR. Al-Bukhoriy (5218)] 
Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- berkata, "Ibnul Arobiy berpegang dengan sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , "dan sesuatu yang ada di sekitarnya " bahwa minyak tersebut adalah beku. Ibnul Arobiy berkata, "Sebab andai ia bukan beku, maka tak ada istilah "sekitarnya", karena andai minyak itu diciduk dari arah mana pun dengan cara apapun, maka ia akan digantikan (tempatnya) oleh yang lain saat itu juga. Maka ia (pengganti) itu akan termasuk sekitar tikus. akhirnya butuh untuk membuang minyak itu seluruhnya". Demikian yang dikatakan oleh Ibnul Arobiy".[Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (9/669)] 
Sebagian ulama menyamakan antara minyak yang beku dengan yang cair, wallahu a’lam. [Lihat Asy-Syarh Al-Mumti' (1/379-370)] 

• Ketika Kencing Menodai Kesucian Tanah 
Allah -Ta’ala- telah memberikan keistimewaan bagi ummat Islam dengan memberikan kelonggaran bagi mereka untuk beribadah dimanapun, baik di atas tanah, maupun di atas lantai. Karenanya, tanah atau lantai tersebut harus dijaga dengan baik dari najis. Jika terkena najis, maka cukup disiram dengan air atau dihilangkan najisnya. Anas bin Malik-radhiyallahu ‘anhu- berkata, 
َأنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : دَعُوْهُ وَلاَ تُزْرِمُوْهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ
“Ada seorang Arab Badui pernah kencing di masjid, maka sebagian orangpun bangkit dan menuju kepadanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Biarkan (ia kencing), janganlah kalian memotongnya”. 
Anas berkata, “Tatkala orang itu selesai kencing, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta seember air, lalu menuangkannya pada kencing tersebut. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (6025) dan Muslim dalam Shahih-nya (284)]

• Istinja’ dari Kotoran Perut 
Tinja dan kencing adalah najis yang harus disingkirkan dari pakaian, badan, dan kehidupan kita sehingga kita bisa beribadah, dan mu’amalah dengan baik.
Sarana terbaik membersihkan tinja adalah air. Anas bin Malik-radhiyallahu ‘anhu- berkata, 
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِيْ إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِيْ بِالْمَاءِ
"Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah memasuki tempat pembuangan air. Maka aku pun dan seorang bocah sebaya denganku datang membawa seember air dan tombak kecil, lalu beliau pun ber-istinja’ (cebok) dengan air". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (152), dan Muslim (271)] 
Jika suatu saat kita tak menemukan air, maka kita boleh menggunakan tiga buah batu, atau tissue ketika ber-istinja’.

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, 
إِذِا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيْبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِىءُ عَنْهُ
"Jika seorang diantara kalian pergi buang air, maka hendaknya ia membawa tiga batu yang dipakai untuk istinja’, karena (tiga) batu tersebut mencukupi baginya (untuk cebok)". [HR. Abu Dawud (40), dan An-Nasa'iy (44)] 
Namun disana ada benda-benda yang tak boleh digunakan cebok, sebab telah ada larangan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dari menggunakannya.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, 
لَا تَسْتَنْجُوْا بِالرَّوْثِ وَلَا باِلْعِظَامِ فَإِنَّهُ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ الْجِنِّ
"Jangan cebok dengan menggunakan tahi binatang, dan tulang-belulang, karena itu adalah makanan saudara-saudara kalian dari kalangan jin". [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (18), dan An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (39). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (350)] 


Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 47 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) 

http://almakassari.com/

0 komentar:

Post a Comment